Hipoglikemia: Definisi, Gejala, Klasifikasi, Diagnosis, Faktor Risiko, Epidemiologi, dan Patofisiologinya

Hipoglikemia: Definisi, Gejala, Klasifikasi, Diagnosis, Faktor Risiko, Epidemiologi, dan Patofisiologinya


Hipoglikemia
Credit: pixabay(dot)com (modified)

► Definisi Hipoglikemia


Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah di bawah normal. Hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes mellitus yang dapat terjadi secara berulang dan dapat memperberat penyakit diabetes bahkan menyebabkan kematian (Cryer, 2003). Hipoglikemia diabetik (insulin reaction) terjadi karena peningkatan insulin dalam darah dan penurunan kadar glukosa darah yang diakibatkan oleh terapi insulin yang tidak adekuat (Tomky, 2005).

Hipoglikemia sering didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya dan diklasifikasikan berdasarkan Triad Whipple, yaitu :

- Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah.

- Kadar glukosa darah yang rendah (< 3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes).

- Hilangnya secara cepat keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikoreksi.

Risiko hipoglikemia terjadi akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini, dimana pemberian insulin masih belum sepenuhnya dapat menirukan (mimicking) pola sekresi insulin yang fisiologis (Sudoyo, et al. 2006). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada pasien diabetes tipe 1 dari pada tipe 2, namun dapat juga terjadi pada pasien diabetes tipe 2 yang mendapatkan terapi insulin, dan merupakan faktor penghambat utama dalam penanganan diabetes mellitus (Gabriely & Shamoon, 2004).

Faktor utama hipoglikemia yang menjadi fokus pengelolaan diabetes mellitus adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa secara terus menerus. Gangguan asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi sistem saraf pusat, dengan gejala gangguan kognisi, bingung, dan koma (Sudoyo, et al. 2006).

► Gejala, Klasifikasi dan Diagnosis Hipoglikemia


Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologi terhadap penurunan glukosa darah tidak hanya membatasi makin parahnya perubahan metabolisme glukosa, tetapi juga menghasilkan keluhan dan gejala yang khas. Hipoglikemia dapat berkembang dari hipoglikemia ringan (asymptomatic hypoglycemia), sampai hipoglikemia sedang (moderate hypoglycemia) bahkan sampai pada hipoglikemia berat (severe hypoglycemia) (Sudoyo, et al., 2006).

Gejala yang timbul pada hipoglikemia ringan umumnya terjadi akibat aktivasi respon symptoadrenal yang dimanifestasikan dengan kadar glukosa plasma kurang dari 55 mg/dl, berkeringat banyak, tremor, pallor (pucat), palpitasi, nyeri kepala, dan takikardi (Boyle, & Zrebiec, 2007). Pada hipoglikemia sedang (moderate hypoglycemia), terjadi gejala neuroglicopenic, dimana kadar glukosa plasma kurang dari 45 mg/dl yang disebabkan oleh disfungsi cerebral (otak) akibat hilangnya suplai glukosa, dengan manifestasi klinik bingung, mengantuk, sulit bicara, inkoordinasi, perilaku yang menyimpang (tidak wajar), gangguan visual, dan parestesi.

Keadaan ini dapat berkembang ke dalam hipoglikemia berat yang ditandai dengan gangguan kesadaran, koma bahkan kematian (Cryer, et al, 2003). Gejala hipoglikemia berdasarkan klasifikasi hipoglikemia dijelaskan pada tabel di bawah ini.

Mild hipoglikemia
Moderate hipoglikemia
Severe hipoglikemia
- Diaphoresis
- Pallor
- Paresthesia
- Rasa lapar hebat
- Palpitasi
- Tremor
- Cemas
- Pusing
- Disorientasi
- Gangguan bicara
- Perubahan perilaku
- Irritabilitas
- Seizure
- Gangguan kesadaran
- Nafas dangkal
Sumber : Briscoe & Davis (2006)

Diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa darah di bawah 60-70 mg/dl dengan menunjukkan sedikit atau tidak menunjukkan gejala adrenergik maupun  otonomik, serta jika kadar gula darah kurang dari 40 mg/dl yang menunjukkan gejala gangguan atau kerusakan persarafan / neuroglycopenic (Tomky, 2005).

Pasien diabetes yang masih relatif baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan gangguan sistem syaraf otonomik seperti palpitasi, tremor atau berkeringat lebih menonjol dan biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan neuroglykopenic seperti gangguan konsentrasi, parestesi, gangguan visual, gangguan bicara, inkoordinasi atau koma.

Perbedaan manifestasi atau gejala hipoglikemia baik neurogenic maupun neuroglykopenic terinci dalam tabel di bawah ini.

Gejala Neurogenic
Gejala Neuroglycopenic
- Gemetar
- Tremor / Trembling
- Gelisah
- Cemas
- Palpitasi
- Banyak keringat
- Mulut kering
- Lapar
- Pucat
- Pupil dilatasi
- Abnormal mentation
- Irritabilitas
- Bingung
- Gangguan berfikir
- Gangguan bicara
- Ataxia
- Parestesia
- Nyeri kepala
- Stupor
- Seizure
- Koma
- Meninggal (bila tidak ditangani)
Sumber : Briscoe & Davis (2006)

Pasien diabetes yang lama mengalami kecenderungan berkurangnya intensitas keluhan otonomik atau bahkan menghilang. Keadaan ini menunjukkan kegagalan yang progresif aktivasi sistem saraf otonomik (Sudoyo, et al., 2006). Diagnostik hipoglikemia ringan (mild hypoglycemia) sebagai tindakan deteksi dini dapat didefinisikan berdasarkan: (Miller, 2001)

- Laporan pasien tentang adanya gejala berupa:
   Berkeringat, gemetar, lapar dan/atau pusing.

- Laporan hasil monitor glukosa darah yang dilakukan secara mandiri di rumah:
   Kadar di bawah 60 mg/dl atau di bawah 3.3 mmol/L.

► Faktor Risiko Hipoglikemia


Hipoglikemia pada pasien diabetes terjadi akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik setelah penyuntikan insulin subkutan atau akibat terapi obat yang meningkatkan sekresi Insulin, misalnya sulfonilurea. Makan akan meningkatkan kadar glukosa darah dalam beberapa menit dan mencapai puncaknya setelah satu jam.

Bahkan pemberian insulin rapid acting secara subkutan belum mampu menirukan kecepatan peningkatan kadar puncak insulin tersebut dan baru menghasilkan puncak konsentrasi insulin 1-2 jam sesudah penyuntikan, sehingga pasien rentan terhadap hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai waktu makan berikutnya dan pada waktu malam hari (Sudoyo, et al., 2006).

Menurut penelitian yang dilakukan United Kingdom Prospective Study (UKPS) melaporkan bahwa hipoglikemia terjadi pada pasien DM tipe 2 yang menggunakan terapi metformin sebesar 2,4 %, sulfonylurea 3,3 %, dan insulin 11,2 % (Cryer, 2003). Terjadinya episode hipoglikemia umumnya merupakan reaksi terhadap insulin (insulin reaction) sehingga setiap pasien diabetes dengan terapi insulin dan obat hipoglikemia oral (OHO) harus diwaspadai timbulnya gejala hipoglikemia.

Menurut Sudoyo, et al., (2006), faktor risiko yang berkontribusi menimbulkan hipoglikemia adalah:

- Kadar insulin berlebihan, yang disebabkan oleh:
   Dosis obat berlebihan
   Peningkatan bioavailibilitas insulin, karena absorpsi yang lebih cepat dari normal.

- Peningkatan sensitivitas insulin, yang disebabkan oleh:
   Defisiensi hormone counterregulatory : penyakit addison, hipopituarisme.
   Penurunan berat badan.
   Latihan jasmani, post partum, variasi siklus menstruasi.

-  Asupan karbohidrat kurang, yang disebabkan oleh:
   Makan tertunda atau porsi yang kurang.
   Anorexia nervosa.
   Muntah, gastroparesis.
   Menyusui.

- Faktor lain, misalnya:
   Absorpsi glukosa yang terlalu cepat untuk pemulihan glikogen otot.
   Konsumsi alkohol
   Konsumsi obat yang meningkatkan kerja sulfonilurea (misal, sulfonamid).

Identifikasi faktor penyebab atau faktor risiko hipoglikemia dan tindakan koreksi adalah rumit dan bersifat individual bagi pasien, namun biasanya mekanisme yang mendasari timbulnya gejala dapat ditemukan, misalnya asupan nutrisi yang tidak adekuat atau olah raga yang berlebihan sering menunjang terjadinya hipoglikemia, namun yang umum terjadi adalah respon apikal terhadap insulin.

► Epidemiologi Hipoglikemia


Prevalensi hipoglikemia cukup tinggi, kurang lebih 90 % pasien yang mendapatkan terapi insulin pernah mengalami hipoglikemia. Menurut Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) bahwa kejadian hipoglikemia berat pada pasien DM yang mendapatkan terapi intensif tiga kali lipat dari pada pasien DM yang mendapatkan terapi konvensional (Briscoe & Davis, 2006). DCCT merinci kejadian hipoglikemia pada diabetes tipe 1 sebesar 60 % dan 20 % pada pasien diabetes tipe 2 (Sudoyo, et al., 2006).

Episode hipoglikemia Pasien DM tipe 1 yang mendapatkan terapi intensif terjadi lebih dari 10 kali setiap minggu, dan mengalami episode hipoglikemia berat temporer paling sedikit sekali dalam setahun. Angka kematian pada pasien DM tipe 1 berkisar antara 2 % sampai 4 %. Kejadian episode hipoglikemia pada pasien DM 1 sebanyak 43 kali selama setahun dan 16 kali pada pasien DM 2, dan kejadian hipoglikemia berat pada pasien DM tipe 2 lebih rendah daripada pasien DM tipe 1 (Briscoe & Davis, 2006).

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah pasien diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 8,4 juta orang, jumlah tersebut menempati urutan ke-4 terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Diperkirakan prevalensi tersebut meningkat pada tahun 2030 menjadi 21,3 juta. Seiring dengan peningkatan jumlah pasien diabetes, risiko terjadinya hipoglikemia diperkirakan juga meningkat. Kejadian hipoglikemia berat juga meningkat dengan penggunaan insulin yang makin lama (Sudoyo, et al., 2006).

► Mekanisme / Patofisiologi Terjadinya Hipoglikemia


Gangguan asupan glukosa yang terjadi beberapa menit menyebabkan gangguan sistem saraf pusat, dengan gejala gangguan kognisi, bingung, dan koma. Menurunnya asupan glukosa pada jaringan saraf mengakibatkan jaringan saraf mencari sumber energi alternatif yaitu keton dan laktat, namun pada hipoglikemia akibat insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan dan mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di susunan saraf pusat, sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energi alternatif (Sudoyo, et al., 2006).

Penurunan konsentrasi normal glukosa darah menimbulkan respon tubuh berupa : (Cryer, 2003)

- Penurunan sekresi insulin akibat penurunan glukosa.
   Keadaan ini merupakan respon fisiologis.
   Kadar glukosa plasma biasanya antara 72-108 mg/dl.

- Peningkatan sekresi glukagon dan epinefrin.
   Sebagai respon neuroendokrin terhadap penurunan glukosa.
   Yang diikuti dengan respon fisiologis berupa berkeringat, lapar atau gemetar.
   Kadar glukosa plasma biasanya antara 65-70 md/dl.

- Gejala neurogenic dan neuroglikopenic, penurunan kognitif.
   Kadar glukosa 50-55 mg/dl.

Saat terjadi hipoglikemia akut, tubuh akan berespon dengan mensekresi hormon glukagon dan epinefrin. Glukagon merupakan hormon yang bekerja di hati, dan berperan dalam mekanisme glikogenolisis dan glukoneogenesis. Gliserol, hasil lipolisis, dan asam amino merupakan bahan baku glukoneogenesis. Epinefrin juga berperan dalam meningkatkan glukoneogenesis di ginjal, dimana pada keadaan hipoglikemia dapat meningkatkan produksi glukosa kurang lebih 25% dari kebutuhan tubuh.

Hipoglikemia yang berlangsung lama akan merangsang hipofisis untuk meningkatkan sekresi kortisol dan hormon pertumbuhan untuk berperan melawan kerja insulin di jaringan perifer dan meningkatkan glukoneogenesis. Sekresi glukagon yang dihambat secara farmakologis mengakibatkan pemulihan kadar glukosa setelah hipoglikemia yang diinduksi insulin berkurang sekitar 40 %, dan bila sekresi glukagon dan epinefrin dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak terjadi.

Respons sel β pankreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat sekresi insulin yang merangsang terjadinya sekresi glukagon oleh sel α (Sudoyo, et al., 2006). Respons fisiologi utama terhadap terjadinya hipoglikemia terletak pada neuron hypotalamus ventromedial (VMH).

Neuron-neuron di VMH responsif terhadap glukosa, sebagian menjadi aktif bila kadar glukosa meningkat, sebagian responsif terhadap hipoglikemia. Neuron-neuron tersebut diproyeksikan ke area yang berkaitan dengan aktivasi pituitari-adrenal dan sistem simpatis, dan respon fisiologis utama terhadap hipoglikemia terjadi sesudah neuron-neuron di VMH yang sensitif terhadap glukosa teraktivasi dan kemudian mengaktifkan sistem saraf otonom dan melepaskan hormon-hormon counteregulatory (Sudoyo, et al., 2006).

Hipoglikemia unawared (hipoglikemia yang tidak disadari) dapat terjadi akibat kegagalan proteksi fisiologis atau kegagalan mekanisme counteregulatory. Saat diagnosis DM dibuat, respon glukagon terhadap hipoglikemia umumnya normal. Respons glukagon pada pasien DM tipe 1 mulai turun setelah menderita diabetes 1-2 tahun, dan setelah 5 tahun respon glukagon tersebut hilang. Penyebab kegagalan respon tersebut saat ini belum diketahui secara pasti, diperkirakan tidak berkaitan dengan neuropati otonomik atau kendali glukosa yang ketat.


PULSA GRATIS!!!

Kamu punya blog atau punya akses untuk mengelola blog milik instansi tertentu (dinas, puskesmas, RS, universitas, dll)?
dan kamu mau PULSA GRATIS?

Buat artikel yang terkait dg artikel ini atau artikel lain di blog ini, lalu cantumkan URL artikelnya pada artikel kamu sebagai tambahan bacaan. Artikelnya gak perlu panjang-panjang kok, minimal 200 kata sudah boleh. Kalo kamu ada artikel lama yang tinggal diedit untuk ditambahkan URL artikel kami, itu lebih bagus lagi ^_^

Setelah kamu ada artikelnya, beritahu kami dengan cara kirim pesan kepada kami langsung dari menu "Hubungi kami" yang berisi nama kamu, nomor HP, dan URL artikel yang kamu buat.

Kami akan menyeleksi peserta yang memenuhi syarat lalu secara acak akan memilih peserta yang beruntung setiap bulannya untuk mendapatkan pulsa gratis sebesar Rp 20.000,-

Yuk, ikutan! kapan lagi bisa dapat pulsa gratis dengan mudah, hehe :D

Untuk mengirim pesan dan jika ada pertanyaan, hubungi kami disini >> http://www.sainsphd.com/p/hubungi-kami.html

Title : Hipoglikemia: Definisi, Gejala, Klasifikasi, Diagnosis, Faktor Risiko, Epidemiologi, dan Patofisiologinya
URL : https://sains-phd.blogspot.com/2017/09/hipoglikemia.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »