Stroke: Definisi, Patofisiologi, Diagnosa, Gejala, dan Penatalaksanaan

Stroke: Definisi, Patofisiologi, Diagnosa, Gejala, dan Penatalaksanaan


Stroke
Credit: Stroke Diagram | by ConstructionDealMkting - flickr

► Definisi Stroke


Stroke merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal atau global yang dapat menimbulkan kematian atau kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (Mulyatsih, 2007).

Berdasarkan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien, stroke dapat dibagi menjadi dua tipe utama yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik disebabkan oleh adanya trombus atau emboli yang menyumbat aliran darah ke otak. Perdarahan di jaringan otak atau ruang subarachnoid menyebabkan stroke hemoragik. Dari seluruh kejadian stroke, 83% adalah stroke iskemik dan sisanya 17% stroke hemoragik (Brownman, 2001).

Namun demikian pemulihan kedua jenis stroke ini tergantung dari banyak faktor antara lain faktor risiko yang dimiliki, ketepatan dan kecepatan penatalaksanaan, penyakit yang memperberat stroke dan perawatan serta pelaksanaan mobilisasi dini untuk mencegah salah satu komplikasi dari tirah baring lama, seperti kontraktur sendi, atrofi otot, pneumonia hipostatik dan terjadinya dekubitus (Brunner & Suddarth, 2002).

► Patofisiologi Stroke


Beberapa proses berperan dalam patofisiologi serangan stroke, dimana melibatkan gangguan oksigenasi otak, proses metabolisme serebral, dan apoptosis. Patofisiologi stroke iskemik dan stroke hemoragik mempunyai perbedaan. Pada stroke iskemik dan hemoragik terdapat berbagai faktor yang mengakibatkan kematian sel dan patofisiologi lainnya berperan terhadap timbulnya gejala serta kemungkinan perbaikan setelah stroke.

● Stroke Iskemik


Faktor yang berperan dalam patofisiologi stroke iskemik dapat dibagi atas:

1) Metabolisme serebral

Otak manusia membutuhkan glukosa sebanyak 75-100 mg/menit sebagai sumber utama untuk metabolisme energi. Glukosa di-metabolisme dalam otak melalui glikolisis dan siklus tricarboxiclic acid. Selama metabolisme aerob, masing-masing molekul glukosa memproduksi 36 molekul Adenosis Tri Pospat (ATP), dan hanya 2 molekul ATP beserta asam laktat saat metabolisme anaerob. Keadaan ini menyebabkan mitokondria tidak mampu menahan kalsium sehingga terjadi penumpukan kalsium intrasel. Neuron otak membutuhkan asupan ATP yang konstan untuk mempertahankan integritasnya dan menjaga kation intrasel utama: ion kalium, serta kation ekstrasel mayor: ion natrium, dan kalsium di luar sel (Zauner, et al., 2002).

2) Regulasi aliran darah serebral

Aliran darah serebral global menggambarkan aliran substansia grisea dan alba pada orang dewasa muda sehat. Sekitar 50-55 ml/100g otak per menit atau 15-20% total curah jantung dialirkan ke pembuluh darah otak. Pada kondisi istirahat, konsumsi oksigen otak, yang biasanya diukur dengan kecepatan metabolisme oksigen serebral (Cerebral Metabolic Rate O2-CMRO2) berkisar antara 3,3-3,5 ml/100g permenit, atau 45 ml oksigen per menit. Secara keseluruhan pada keadaan istirahat terdapat 20% total konsumsi oksigen yang diterima tubuh (Hendrik, 2006).

3) Proses iskemia serebral

Patofisiologi iskemia serebral akut terjadi karena proses (a) vaskuler dan hematologi yang menyebabkan awal penurunan dan perubahan aliran darah serebral lokal, (b) perubahan kimiawi seluler karena induksi iskemia yang mengakibatkan nekrosis neuron, glia dan sel penunjang otak lain.

Apabila cerebral blood flow (CBF) menurun menjadi 20 ml / 100 g otak / menit (40-50% CBF normal), maka fraksi ekstraksi oksigen menjadi maksimal dan CMRO2 menurun sehingga fungsi neuron korteks serebral normal terganggu dan aktivitas elektroenselografi menurun. Apabila CBF turun hingga di bawah 10 ml/100 g otak/ menit (20-30% CBF normal) terjadi kegagalan mekanisme transport seluler dan sistem neurotransmiter hipoksik-iskemik yang berlangsung lebih dari 3-5 menit akan menimbulkan depolarisasi anoksik kerena penurunan ATP intraseluler sehingga terjadi hambatan aktivitas Na+/K+ATPase.

Selain itu terjadi juga pelepasan sinaptik transmiter glutamat sehingga terjadi influks Ca2+ melalui reseptor N-methyl-d-aspertate (NMDA) secara langsung. Kegagalan sistem pompa juga menyebabkan peningkatan konsentrasi Na+ intraseluler yang menarik air sehingga terjadi edema sitotoksik (Zauner, et al., 2002).

4) Eksitotoksisitas

Apabila neuron mengalami iskemia maka terjadi penurunan ATP sehingga neuron menjadi terpolarisasi, dengan akibat meningkatnya pelepasan transmiter glutamat. Peningkatan glutamat ekstraseluler akan menyebabkan stimulasi berlebihan terhadap reseptor glutamat yaitu reseptor α-amino-3hydroxil-5methyl-4-4isoxazole propionate (AMPA), kainat dan NMDA (Hendrik, 2006).

5) Apoptosis (kematian sel terprogram)

Selama iskemia, terjadi peningkatan permeabilitas membran mitokondria sebelah dalam yang disebut mitocondrial permeability transition (MPT). MPT mempengaruhi depolarisasi membran, fosforilasi oksidatif, pelepasan ion intramitokondrial dan pembengkakan. Bila proses yang terjadi sangat hebat maka membran luar akan rusak, sehingga terjadi pelepasan makromolekul ke dalam sitoplasma. Pelepasan substansi apoptogenik mengaktifkan kaskade kaspase proteolitik, yang menyebabkan destruksi protein utama dengan hasil akhir kematian sel (Hendrik, 2006).

6) Cedera reperfusi dan iskemia serebral

Reperfusi jaringan iskemia penting untuk mengembalikan fungsi normal. Keberhasilan pengobatan trombolisis atau rekanalisasi spontan dari pembuluh darah yang tersumbat mengakibatkan re-oksigenisasi jaringan otak yang mengalami iskemia tetapi juga mencetuskan pembentukan radikal bebas oksigen dan influks sel-sel inflamasi yang mengakibatkan destruksi sel yang masih reversibel secara progresif.

Pada keadaan normal, endotel pembuluh darah otak merupakan organ yang bersifat anti adhesif dan anti trombotik. Iskemia yang diikuti reperfusi menginduksi endotelium sehingga melepaskan molekul adhesi dan faktor-faktor kemotaktik. Tranformasi ini akan menarik dan mengaktivasi trombosit dan neutropil untuk menempel pada endotel, neutropil kemudian beremigrasi ke perenkima otak dalam jumlah yang besar. Aliran darah kapiler mengalami gangguan akibat sumbatan neutropil ukuran besar, sel-sel neutropil ini juga mensekresi enzim proteolitik dan sitokin. Lipid pada membran sel dihancurkan oleh fosfolipase A2 (PLA2) sehingga melepaskan asam aradikonat.

Peningkatan metabolisme asam aradikonat ini mengakibatkan formasi eikosanoid proinflamatorik (prostaglandin dan tromboksan) dan leukotrien, dan radikal bebas oksigen oleh aktivitas enzimatik siklooksigenase-2 (COX-2) dan lipooksigenase. Radikal bebas dan mediator inflamasi, bersama dengan prostanoid, berperan dalam kerusakan sawar darah otak, mengakibatkan terjadinya edema. Edema otak ini sendiri kemudian akan memperberat cedera iskemia melalui peningkatan tekanan intrakranial akibat kompresi mikrosirkulasi lokal (Sugawara, et al., 2005).

● Stroke Hemoragik


Pada stroke hemoragik, patofisiologi didasarkan pada proses primer yang kemudian mengakibatkan perdarahan dan cedera sekunder akibat perdarahannya. Beberapa patofisiologi stroke hemoragik:

1) Perdarahan intraserebral hipertensif

Penelitian patologi menunjukkan bahwa perdarahan intra serebral (PIS) hipertensif berhubungan dengan lipohialinosis. Lipohialinosis adalah infiltrasi lipid ke tunika media dari arteri perforata ukuran kecil sampai sedang (Ø 60-150 µm). Arteri menjadi kurang elastis sehingga lebih rentan untuk ruptur akibat peningkatan tekanan intravaskuler akut.

Lipohialinosis timbul akibat hipertensi jangka panjang. Aneurisma millier atau mikroaneurisma (aneurisma Charcot-Bouchard) juga ditemukan pada vaskulopati hipertensi, walau sering ditemukan bukan sebagai sumber perdarahan (Butcher, et al., 2005).

2) Angiopati amiloid serebral

Angiopati amiloid serebral (cerebral amyloid angiopathy-CCA) merupakan hasil deposisi protein β-amyloid yang tidak larut dalam air dalam tunika media dan adventisia arteri, arteriol, dan kapiler leptomeningeal dan kortikal. β-amyloid menggantikan otot polos tunika media, membuat arteri kurang bereaksi. Adanya amiloid dalam pembuluh darah meningkat secara eksponensial dengan usia. Pemeriksaan serial otopsi menunjukkan CAA mempengaruhi pembuluh darah kortikal. Hipertensi merupakan faktor risiko yang bersama faktor risiko lainnya mengakibatkan pecahnya pembuluh darah. Stroke hemoragik berulang mengindikasikan adanya angiopati amiloid (Butcher, et al., 2005).

3) Evolusi hematoma akut

Saat terjadi ruptur arteri yang patologis, darah akan keluar ke parenkim otak sekitarnya. Darah akan mendiseksi permukaan jaringan, menekan struktur yang berdekatan. Dahulu, pembentukan hematoma dianggap terjadi cepat dan ekspansi berhenti dalam beberapa menit.

Pembesaran selanjutnya dibatasi oleh tekanan kompartemen intrakranial yang meningkat. Namun, dengan melakukan pencitraan serial didapatkan 20-38% hematoma PIS akan membesar dalam 36 jam setelah awitan. Hematoma lebih besar dari 25 cm3 mungkin akan membesar dalam 6 jam setelah awitan (Butcher at.all, 2002).

4) Cedera sekunder

Terdapat semakin banyak bukti bahwa daerah sekitar hematoma mengalami kompromi bukan hanya karena efek masa. Daerah hipodens dapat terlihat pada sebagaian besar pemindaian CT stroke hemoragik subakut. Pada gambaran MRI didapatkan tepi hiperintens yang menunjukkan adanya edema. Namun, belum jelas edema yang terjadi adalah vasogenik atau sitotoksik. Edema sitotoksik terjadi karena iskemia, yang terjadi akibat kompresi mikrosirkulasi intraparenkimal atau akibat vasokonstriksi pembuluh darah akibat pelepasan metabolit oleh hematoma. Selain itu juga terjadi kerusakan otoregulasi otak akibat tinggi tekanan intrakranial yang mengkibatkan edema vasogenik (Sugawara, et al., 2005).

5) Mekanisme kematian sel

Data klinis dan eksperimental menunjukkan pelepasan glutamat dan eksitotoksisitas pada daerah perihematomal. Kadar glutamat serum yang meningkat berhubungan dengan keluaran yang lebih buruk. Kadar glutamat juga berhubungan bermakna dengan volume kavitas residu hematoma setelah 3 bulan. Kadar molekul proinflamasi seperti tumor necrosis factror-α dan interlukin-6 juga meningkat, dan berhubungan bermakna dengan volume hipodensitas perihematomal CT scan subakut.

Iskemia bukan merupakan faktor mayor pada stroke hemoragik berdasarkan penelitian model binatang dan pencitraan klinis. Sebaliknya, protein yang terlibat dalam formasi dan retraksi bekuan memberikan efek toksik terhadap jaringan sekitarnya. Pada penderita dengan gangguan formasi bekuan seperti pemberian heparin atau trombolisis, sering kali tidak ditemukan hematoma (Butcher, et al., 2005).

► Diagnosa Stroke


Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan perjalanan penyakit dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik membantu menentukan lokasi kerusakan pada otak. Selain pemeriksaan fisik untuk melengkapinya dilakukan pemeriksaan penunjang yang meliputi Computed Tomography (CT) Scan sebagai standar emas dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Selain itu juga dilakukan angiografi untuk mengevaluasi susunan pembuluh darah serebral melalui kapilaroskopi atau fluoroskopi.

Bila tidak memungkinkan untuk dilaksanakan pemeriksaan CT Scan atau MRI, maka dipakai Sisiraj Stroke Score (SSS) yang didapatkan dari:

(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan diastolik) + (3 x petanda ateroma) – 12

Dengan keterangan:

Derajat kesadaran (0 = kompos mentis, 1 = somnolen, 2 = sopor/koma)

Vomitus (0 = tidak ada, 1 = ada)

Nyeri kepala (0 = tidak ada, 1 = ada)

Ateroma (0 = tidak ada, 1 = salah satu atau lebih: Diabetes, angina, penyakit pembuluh darah)

Dari skor total jika skor >1 maka perdarahan supratentorial dan jika skor <1 font="" infark="" maka="" nbsp="" serebri="">(Soertidewi, 2007).

Tanda dan Gejala Stroke


Manifestasi stroke dibagi menjadi 2 jenis, yaitu pertama terkait dengan gejala awal berdasarkan etiologi dan kedua berupa beberapa defisit spesifik setelah terjadi stroke. Manifestasi dari stroke iskemik dapat berupa hemiparesis, kehilangan fungsi bicara, dan kehilangan kemampuan sensorik. Manifestasi dari stroke iskemik trombosis dapat terjadi dalam beberapa menit, jam dan hari. Ciri dari jenis ini adalah onsetnya yang lambat yang tergantung dengan ukuran trombus dan hasil sumbatan apakah parsial atau total dari pembuluh darah yang dipengaruhi.

Berbeda sekali dengan stroke iskemik trombosis, pada stroke emboli manifestasinya terjadi secara tiba-tiba dan tanpa adanya tanda peringatan awal. Stroke hemoragik terjadi sangat cepat dengan manifestasi yang berkembang dalam beberapa menit hingga jam. Manifestasi umumnya adalah sakit kepala hebat pada daerah oksipital, vertigo, syncope, parestesis, kelumpuhan, dan perdarahan retina mata.

Manifestasi stroke yang berupa defisit spesifik tergantung dengan penyebab dan area dari otak yang terganggu perfusinya. Arteri serebral media adalah tempat paling sering yang terjadi stroke iskemik. Defisit yang terjadi juga dipengaruhi apakah mengenai sisi tubuh yang dominan atau tidak. Derajat defisit juga sangat bervariasi mulai dari gangguan ringan hingga kehilangan kemampuan fungsional yang serius.

1) Kehilangan fungsi motorik

Manifestasi klinis dari stroke pada fungsi motorik yang biasa terjadi berupa hemiparesis (kelemahan) atau hemiplegic (kelumpuhan) pada satu sisi tubuh. Defisit ini terjadi biasanya disebabkan adanya gangguan pada arteri anterior atau media yang menyebabkan infark pada jalur motorik di korteks bagian frontal. Jika kelumpuhan total terjadi maka defisit motorik akan terjadi pula pada muka, lidah, lengan dan kaki. Infark pada hemisfer kanan menyebabkan hemiplegi pada sisi tubuh bagian kiri karena terjadi persilangan serabut syaraf pada traktus piramidal dari otak ke syaraf tulang belakang.

2) Kehilangan komunikasi

Gangguan dari fungsi komunikasi dapat berupa afasia (gangguan dalam kemampuan untuk komunikasi). Afasia melibatkan semua aspek komunikasi berupa bicara, membaca, menulis dan memahami bahasa pembicaraan. Ada beberapa jenis afasia meliputi: afasia wernick (gangguan dalam memahami kata-kata) sebagai akibat dari adanya infark pada lobus temporal, afasia broca (gangguan dalam mengekspresikan kata-kata) sebagai akibat dari adanya infark pada lobus frontal, afasia global (gangguan dalam memahami dan mengekspresikan kata).

Selain afasia, gangguan fungsi komunikasi berupa disartria. Pasien dengan disartria dapat memahami bahasa tetapi sulit untuk mengucapkan kata tapi tidak ada gangguan dalam penyusunan kata menjadi kalimat.

3) Gangguan sensori

Gangguan fungsi sensori terjadi ketika ada jalur sensorik terganggu karena ketidakadekuatan pada arteri anterior dan media. Defisit yang terjadi bersifat kontralateral yakni selalu pada sisi yang berlawan dengan sisi otak yang mengalami gangguan. Gangguan fungsi sensori dapat berupa hemisensory loss (kehilangan sensasi satu sisi tubuh); parasthesia (adanya sensasi panas atau nyeri yang menetap, merasa berat, mati rasa, gatal-gatal); proprioception (kemampuan untuk mengkoordinasikan bagian-bagian tubuh dengan lingkungan eksternal mengalami gangguan).

4) Gangguan fungsi prilaku dan emosional

Perubahan prilaku pasca stroke tergantung dari area otak yang mengalami gangguan. Pasien dengan stroke pada otak kiri atau hemisfer dominan maka prilakunya lambat, berhati-hati dan tidak terorganisasi. Jika yang terjadi gangguan pada otak kanan atau hemisfer nondominan biasanya prilakunya impulsif, menurunnya perhatian, dan kurang mempertimbangkan risiko. Jika gangguan terjadi ada lobus frontal maka terjadi gangguan dalam memori, pengambilan keputusan, berpikir abstrak dan emosional.

5) Disfungsi kandung kemih

Stroke dapat menyebabkan gangguan pada fungsi kandung kemih dan pencernaan. Gangguan ini terjadi ketika syaraf di kandung kemih mengirimkan impuls ke otak untuk memberikan informasi tentang kandung kemih telah terisi urin, tapi karena terjadi gangguan pada otak maka hal ini terjadi gangguan berkemih. Gangguan tersebut dapat berupa frequency, urgency, dan incontinence. Lama dan tingkat keparahan tergantung dari luas dan lokasi dari area otak yang infark.

► Penatalaksanaan Stroke


Penatalaksanaan stroke dapat dibagi menjadi dua fase yaitu fase akut dan fase pasca akut. Fase akut stroke ditandai dengan keadaan medis yang umumnya belum stabil sedangkan lesi patologik sudah mulai pulih (Ahmad, 2007). Selama fase ini tindakan keperawatan ditujukan untuk mempertahankan fungsi vital pasien (life saving) dan memfasilitasi perbaikan neuron. Kualitas layanan yang diberikan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencegah terjadinya komplikasi dan kecacatan.

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada fase akut dapat berupa:

(a) Mempertahankan jalan nafas, memberikan oksigen, dan mengatur posisi pasien;

(b) Membersihkan lendir dan jalan nafas dan melakukan suction bila perlu;

(c) Memonitor fungsi nafas, mengecek analisa gas darah, mengobservasi gerakan dada;

(d) Mengkaji tanda vital secara periodik sesuai kondisi pasien;

(e) Mengkaji status neurologik secara periodik: GCS, pupil, fungsi motorik dan sensorik, fungsi saraf kranial, dan reflek;

(f) Memonitor keseimbangan cairan dan elektrolit;

(g) Mengecek kembali pemeriksaan penunjang yang lain;

(h) Melakukan pencegahan kejang bila perlu; dan

(i) Mengkaji kemampuan menelan pasien.

Penatalaksanaan fase pasca akut dilakukan jika kondisi pasien telah stabil (keadaan kegawadaruratan telah lewat) dan fungsi otak masih dalam taraf pemulihan. Penatalaksanaan perawatan ditujukan untuk mempertahankan fungsi tubuh dan mencegah komplikasi. Rehabilitasi pasien harus dilakukan sedini mungkin. Pada fase ini perawat harus mengkaji dan memonitor kemungkinan timbulnya peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh edema, hematoma, dan hidrosefalus.

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan dalam fase pasca akut sebagai berikut: (Mulyatsih, 2007)

(a) Melakukan perawatan kebersihan secara rutin;

(b) Memonitor tanda vital, status neurologis, dan fungsi kognisi secara teratur;

(c) Melibatkan pasien dalam perawatan diri sesuai kemampuan pasien;

(d) Melakukan ROM pasien tiga sampai empat kali sehari;

(e) Melakukan perawatan kulit setiap empat jam dan memperhatikan adanya kemerahan atau iritasi;

(f) Melakukan perubahan posisi setiap dua jam, ganjal lengan dan tungkai yang lemah dengan bantal;

(g) Memperhatikan kebersihan jalan nafas dan menganjurkan pasien batuk efektif jika sadar;

(h) Melakukan fisioterapi dada;

(i) Mengenakan stocking elastik bila perlu ke pasien;

(j) Memonitor fungsi bowel;

(k) Memonitor keseimbangan cairan dan elektrolit;

(l) Melepaskan kateter urin seawal mungkin dan memberikan latihan bladder training;

(m) Mengkaji kemampuan menelan, bicara dan berbahasa;

(n) Menyesuaikan teknik komunikasi dengan kemampuan pasien dengan menjelaskan setiap prosedur yang akan dilakukan;

(o) Mengorientasikan pasien menggunakan kalender, radio, foto keluarga;

(p) Mengevaluasi visus dan lapang pandang;

(q) Memberikan perawatan mata jika perlu;

(r) Melakukan pencegahan kejang jika perlu;

(s) Mengobservasi adanya komplikasi misalnya pneumonia, emboli paru, dan infark miokard; serta

(t) Memonitor dan identifikasi penyakit penyerta misalnya DM, obesitas dan hipertensi.


PULSA GRATIS!!!

Kamu punya blog atau punya akses untuk mengelola blog milik instansi tertentu (dinas, puskesmas, RS, universitas, dll)?
dan kamu mau PULSA GRATIS?

Buat artikel yang terkait dg artikel ini atau artikel lain di blog ini, lalu cantumkan URL artikelnya pada artikel kamu sebagai tambahan bacaan. Artikelnya gak perlu panjang-panjang kok, minimal 200 kata sudah boleh. Kalo kamu ada artikel lama yang tinggal diedit untuk ditambahkan URL artikel kami, itu lebih bagus lagi ^_^

Setelah kamu ada artikelnya, beritahu kami dengan cara kirim pesan kepada kami langsung dari menu "Hubungi kami" yang berisi nama kamu, nomor HP, dan URL artikel yang kamu buat.

Kami akan menyeleksi peserta yang memenuhi syarat lalu secara acak akan memilih peserta yang beruntung setiap bulannya untuk mendapatkan pulsa gratis sebesar Rp 20.000,-

Yuk, ikutan! kapan lagi bisa dapat pulsa gratis dengan mudah, hehe :D

Untuk mengirim pesan dan jika ada pertanyaan, hubungi kami disini >> http://www.sainsphd.com/p/hubungi-kami.html

Title : Stroke: Definisi, Patofisiologi, Diagnosa, Gejala, dan Penatalaksanaan
URL : https://sains-phd.blogspot.com/2017/01/stroke-definisi-patofisiologi-tanda-gejala-penatalaksanaan.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 komentar

komentar
13 September 2017 pukul 22.34 delete

ini sumbernya dari mana ya kalau boleh tau?

Reply
avatar
14 September 2017 pukul 13.58 delete

Hai Grace :)

Artikel sudah diperbarui dg referensi, utk referensi / daftar pustaka selengkapnya silahkan share terlebih dahulu artikel ini lalu cantumkan email agar kami bisa mengirimkan file daftar pustaka lengkapnya.

Terima kasih..

Reply
avatar